بسم الله الرحمن الرحيم
Imam Ali Zainal Abidin
Imam Ali Zainal Abidin bernama asli Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ia adalah cicit Nabi Muhammad saw.. Neneknya adalah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw.. Ia kadang disebut dengan Abu Husain atau Abu Muhammad (Muhammad Uwaydhah, Fashl al-Khithâb fi az-Zuhd wa ar-Raqâiq wa al-Adâb, 1/702).
Ali bin Al-Husain dilahirkan di Madinah pada 38 H/658-659 M menurut mayoritas riwayat yang ada. Riwayat lainnya menyatakan ia dilahirkan pada 15 Jumadilawal 36 H. Terkait ibunya, salah satu riwayat masyhur menyebutkan bahwa ibunya bernama Syahrbanu, putri Yazdigird, kaisar terakhir Sasaniyah, Persia. Oleh karena itu Ali Zainal Abidin dijuluki pula “Ibn al-Khiyaratayn”, yaitu “Anak dari Dua Orang Pilihan”, yaitu Quraisy di antara orang Arab dan Persia di antara orang non-Arab.
Ali bin Al-Husain dikenal dengan julukan “Zayn al-Abidîn” (Hiasan para Ahli Ibadah) karena kemuliaan pribadi dan ketakwaannya. Ia pun digelari dengan “As-Sajjâd” karena begitu banyaknya ia beribadah dan bersujud kepada Allah Swt., baik siang maupun malam (Muhammad Uwaydhah, Fashl al-Khithâb, 1/702).
Terkait ibadahnya, diriwayatkan bahwa sering setiap kali hendak menunaikan salat, wajahnya pucat dan badannya gemetar. Saat ditanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau tahu, di hadapan siapa aku berdiri salat dan kepada siapa aku bermunajat?!” (Asy-Syarani, Thabaqât al-Kubrâ, 1/27).
Namun demikian, Ali Zainal Abidin juga pernah bertutur, “Ibadah orang merdeka itu tidak lain didorong oleh rasa syukur, bukan karena takut dan harap.” (Asy-Syarani, Thabaqât al-Kubrâ, 1/27). Karena itu sebagai bentuk rasa syukurnya, Ali bin Husain banyak beribadah setiap hari. Ia pun tidak pernah meninggalkan salat malam, baik saat muqim ataupun dalam keadaan safar (Asy-Syarani, Thabaqât al-Kubrâ, 1/27).
Agung Akhlaknya
Imam Ali Zainal Abidin juga terkenal dengan keagungan akhlaknya. Sejak kecil Ali Zainal Abidin telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji. Keutamaan adab, ilmu dan ketakwaan telah menyatu dalam dirinya.
Di dalam Hilyah al-Awliyâ, Abu Nuaim menuturkan bahwa Sayyid Al-Musayib pernah di tanya oleh seseorang?” Menurut Anda siapa orang yang paling wara?” Sayyid Al-Musayyib balik bertanya, “Tahukah Anda Ali bin al-Husain?” Sungguh tidak ada yang lebih wara dari dirinya.” (Muhammad Uwaydhah, Fashl al-Khithâb, 1/702).
Terkait dengan keagungan akhlaknya, jika seseorang menjelek-jelekan dirinya, misalnya, ia tidak marah. Ia akan segera mendatangi orang itu di rumahnya. Lalu secara baik-baik ia akan berkata, “Saudaraku, jika memang yang engkau katakan tentang aku itu benar, semoga Allah mengampuni diriku. Namun, jika apa yang engkau katakan tentang diriku batil, semoga Allah mengampunimu.” (Asy-Syarani, Thabaqât al-Kubrâ, 1/27). Dalam kisah lain disebutkan, suatu hari, ketika keluar dari masjid, seorang lelaki mencaci Imam Ali Zainal Abidin. Spontan orang-orang di sekitarnya berusaha memukul lelaki tersebut, tetapi Imam Ali Zainal Abidin mencegah mereka.
Lalu ia berkata kepada orang itu, “Apa yang engkau belum ketahui tentang diriku? Apakah engkau membutuhkan sesuatu?” Mendengar ucapan lemah-lembut itu, orang itu merasa malu. Apalagi Imam Ali Zainal Abidin kemudian memberi dia uang 1000 dirham (sekitar Rp60 juta). Seketika lelaki itu berkata, “Saya bersaksi, engkau benar-benar cicit Rasulullah saw.” (Asy-Syarani, Thabaqât al-Kubrâ, 1/28).
Penghormatannya terhadap para sahabat Rasulullah saw. seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththab, dan yang lainnya luar biasa.